Modantara Tegaskan Sikap: Regulasi Tidak Boleh Bunuh Inovasi & Lapangan Kerja

Haijatim.com, Jakarta – Modantara, asosiasi yang menaungi pelaku industri mobilitas dan pengantaran digital, menyampaikan pernyataan resmi menanggapi aksi penyampaian aspirasi yang dilakukan sejumlah mitra pengemudi hari ini. Dalam keterangannya, Modantara menegaskan pentingnya menjaga keberlanjutan sektor ini sebagai salah satu tulang punggung ekonomi digital Indonesia.

“Kami menghargai suara mitra pengemudi. Namun, kebijakan yang akan diberlakukan harus berpijak pada data dan realita ekonomi, bukan sekadar retorika politik,” tegas Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara.

Modantara menyoroti lima isu krusial yang menjadi sorotan dalam aksi hari ini, serta potensi dampak sistemik dari wacana regulasi yang dinilai tidak proporsional.

1. Komisi 10% Tidak Bisa Diseragamkan
Wacana pembatasan komisi platform hingga maksimal 10% dinilai berisiko mengacaukan model bisnis berbagai penyedia layanan transportasi dan pengantaran digital. Modantara mengingatkan bahwa setiap platform memiliki struktur biaya, segmentasi pasar, serta inovasi teknologi yang berbeda-beda.

“Komisi bukan tarif parkir yang bisa disamaratakan. Pemaksaan ini justru bisa menghambat inovasi dan memperburuk kualitas layanan,” ungkap Modantara dalam pernyataannya.

Potensi dampaknya mencakup penghapusan program pemberdayaan mitra, terancamnya layanan di area berpendapatan rendah, serta penurunan kualitas pelayanan akibat tekanan efisiensi yang berlebihan.

2. Reklasifikasi Mitra Jadi Karyawan Bisa Timbulkan PHK Massal
Modantara menyoroti wacana reklasifikasi mitra pengemudi menjadi karyawan tetap sebagai langkah yang kontra produktif. Berdasarkan data Svara Institute (2023), kebijakan ini berpotensi menghilangkan lebih dari 1,4 juta pekerjaan serta menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp 178 triliun.

“Ketika niat melindungi justru membuat jutaan orang kehilangan penghasilan fleksibel, kita perlu berhenti dan bertanya: siapa yang sebenarnya dilindungi?” kata Agung.

Pengalaman negara-negara lain seperti Spanyol, Inggris, dan Swiss menunjukkan bahwa kebijakan serupa berdampak pada naiknya tarif layanan, pemutusan hubungan kerja mitra, hingga hengkangnya platform dari pasar.

3. Penyesuaian Tarif Harus Berdasarkan Data, Bukan Tekanan
Modantara mendukung upaya peningkatan kesejahteraan mitra, namun menekankan pentingnya penyesuaian tarif yang adil dan realistis. Tarif yang terlalu tinggi, tanpa memperhatikan daya beli masyarakat, justru bisa mengurangi permintaan layanan dan mengancam keberlanjutan platform.

“Percuma tarif tinggi jika konsumen enggan menggunakan layanan. Semua kebijakan harus mempertimbangkan kondisi lokal dan variasi biaya operasional,” imbuhnya.

4. Regulasi Tarif Pengantaran Harus Bedakan ODS dan Logistik Konvensional
Modantara menyatakan bahwa regulasi pengantaran makanan dan barang berbasis aplikasi (On-Demand Service/ODS) tidak dapat disamakan dengan logistik konvensional yang diatur dalam UU Pos No. 38/2009. Layanan ODS bersifat dinamis, cepat, dan kompleks, sehingga dibutuhkan payung hukum yang lebih relevan dan fleksibel.

Modantara mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kerangka regulasi dan memperjelas koordinasi lintas kementerian dalam pengawasan sektor ini.

5. Pendapatan Minimum: Perlu Pendekatan Adaptif, Bukan Seragam
Penerapan pendapatan minimum setara UMR dinilai berpotensi memberatkan platform dan mengurangi jumlah mitra aktif. Modantara memperingatkan bahwa hal ini bisa berdampak pada kenaikan harga layanan, pembatasan perekrutan mitra baru, serta berkurangnya akses layanan di wilayah non-komersial.

Sebagai solusi, Modantara mengusulkan pendekatan kolaboratif, termasuk:
* Akses pembiayaan ringan bagi mitra
* Insentif bebas parkir dan pembebasan bea masuk suku cadang
* Optimalisasi perlindungan sosial dan pelatihan kewirausahaan melalui BPJS

Dampak Sistemik Reklasifikasi dan Regulasi yang Tidak Tepat
Dalam lampiran lembar fakta, Modantara memaparkan risiko domino jika kebijakan reklasifikasi mitra dan pembatasan komisi diberlakukan secara sepihak. Di antaranya:
* Penurunan layanan hingga 70–90%
* Penurunan omzet UMKM dan e-commerce
* Potensi pengangguran massal di perkotaan
* Penurunan kepercayaan investor
* Ketidakstabilan ekonomi dan sosial

Studi dari ITB, CSIS, dan Svara Institute menunjukkan bahwa industri ojol, taksol, dan kurier online berkontribusi hingga 2% PDB Indonesia. Penghapusan fleksibilitas kerja dan penyesuaian kebijakan tanpa asesmen menyeluruh bisa menimbulkan efek makroekonomi yang luas. (boi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *