Reformasi Regulasi Melalui Implementasi Omnibus Law Dalam Peningkatan Ekosistem Investasi – Oleh: Norma Isnawati

Haijatim.com – Perdebatan mengenai Omnibus Law sebagai sarana utama untuk penataan regulasi, mengemuka ketika metode Omnibus Law yang sebelumnya tidak banyak dikenal di Indonesia sebagai negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental, menjadi digunakan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020. Terdapat dua RUU dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020 yang menggunakan metode Omnibus Law yaitu: RUU tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang diusulkan oleh Pemerintah dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (Omnibus Law) yang diusulkan oleh Pemerintah.

Dua RUU yaitu RUU Cipta Kerja dan RUU Fasilitas Perpajakan yang penyusunannya menggunakan metode Omnibus Law menarik untuk diteliti lebih mendalam. Kedua RUU ini telah memperoleh Surat Persetujuan Presiden (Surpres) dan telah diajukan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Konteks memformulasi Omnibus Law dalam mengatasi hambatan ketidakharmonisan regulasi dan menciptakan regulasi yang responsif, menaruh harapan yang besar dalam upaya melakukan penataan regulasi di Indonesia.

Kebijakan reformasi regulasi melalui implementasi Omnibus Law di Indonesia, tentu bukan sebuah hal yang gegabah dilakukan pemerintah. Banyak pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah mengapa memilih metode Omnibus Law dalam melakukan reformasi regulasi yang mendesak untuk dilakukan. Berbagai upaya untuk mendorong peningkatan investasi dilakukan oleh pemerintah, namun di tengah era Revolusi Industri Keempat, berbagai kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk perbaikan iklim investasi masih belum memberikan ketertarikan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Salah satu penyebab keengganan investor untuk berinvestasi di Indonesia adalah sulitnya berusaha di Indonesia. Upaya terakhir yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia dengan langkah Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha.

Reformasi Regulasi Simplikasi dalam hal perizinan berusaha merupakan hal yang menjadi substansi utama dalam terbitnya Perpres Nomor 91 Tahun 2017,5 yang kemudian menghasilkan sebuah terobosan kebijakan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik-yang selanjutnya disebut Online Single Submission (OSS). Namun, kenyataan menunjukkan bahwa terbitnya PP Nomor 24 Tahun 2018, dengan simplifikasi bisnis proses OSS masih menemukan banyak kendala, selain belum menunjukkan hasil (outcomes) yang signifikan dan masih jauh dari harapan.

Dari 10 indikator EoDB, yang terdiri dari: (1) Starting a Business; (2) Dealing with Construction Permits; (3) Getting Electricity; (4) Registering Property; (5) Getting Credit; (6) Protecting Minority Investors; (7) Paying Taxes; (8) Trading Across Borders; (9) Enforcing Contracts; dan (10) Resolving Insolvency, sebagaimana tersaji dalam Tabel. 1.1. di atas menunjukkan bahwa peringkat starting a business Indonesia, pada tahun 2020 malah turun dari sebelumnya berada pada peringkat 134 turun 6 peringkat menjadi peringkat 140. Padahal, di tahun 2019 Indonesia sudah melaksanakan mekanisme OSS dalam perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik, dengan diperkenalkannya Nomor Induk Berusaha (NIB). Indikator lain yang peringkatnya turun yaitu indikator registering property yang pada tahun sebelumnya berada pada peringkat 100, turun 6 peringkat menjadi berada di peringkat 106. Indikator Getting Credit juga turun dari sebelumnya berada pada peringkat 44 turun 4 peringkat menjadi berada di peringkat 48.

Permasalahan yang menjadi penyebab Indonesia memiliki peringkat kemudahan berusaha yang berada di bawah negara peer group, antara lain terlihat dari beberapa indikator seperti kerumitan dalam memulai usaha (starting a business}, pengadaan lahan yang sulit dan terlalu berbelit prosesnya (registering property), kesulitan yang dihadapi dalam memperoleh pembiayaan (getting credit), rumitnya penyelesaian dalam perkara kepailitan (resolving insolvency), yang menjadikan peringkat EoDB Indonesia rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan strategi yang tepat dalam perbaikan iklim investasi Indonesia ke arah yang lebih baik.

Di sisi lain, berdasarkan Laporan Global Competitiveness Index, khususnya pada Pilar Institution, indikator Burden of Government Regulation pada sub pilar Public Sector Performance. Sub pilar ini mengalami penurunan, baik dari segi peringkat maupun skor. Indikator ini menunjukkan bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata justru menjadi beban. Padahal efisiensi birokrasi adalah modal utama untuk meningkatkan kepercayaan asing berinvestasi di Indonesia.

Rumit atau sulitnya berinvestasi di Indonesia berimplikasi pada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara tetangga. Kerumitan atau sulitnya berinvestasi, menjadikan perlunya terobosan dalam reformasi regulasi di Indonesia, melalui adopsi terhadap metode Omnibus Law dalam penataan regulasi. Metode ini tentunya berbeda halnya dengan metode yang seringkali digunakan untuk mengubah satu per satu Undang-Undang, sementara yang akan dilakukan perubahan dengan penataan regulasi melalui Omnibus Law ini sekitar 80 (delapan puluh) Undang-Undang. Satu Undang-Undang yang mengubah berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai Undang-Undang, menjadi inti dari penggunaan metode Omnibus Law.

Metode Omnibus Law mampu melakukan perubahan, pencabutan, atau pemberlakukan beberapa karakteristik dari sejumlah fakta yang terkait tapi terpisahkan oleh peraturan perundang-undangan dalam berbagai lingkup yang diaturnya. Keberadaan RUU Cipta Kerja didesain sebagai Omnibus Law yang dapat menyeimbangkan antara ketiga tipe umum regulasi yaitu: Pertama, economic regulation, dimaksudkan untuk memastikan efisiensi pasar, sebagian melalui promosi daya saing yang memadai di antara para pelaku usaha. Kedua, social regulation, dimaksudkan untuk mempromosikan internalisasi semua biaya yang relevan oleh aktor. Ketiga, administrative regulation, yang bertujuan untuk memastikan berfungsinya operasi sektor publik dan swasta.

Dengan mengacu pada Self Regulatings System, pemberian kewenangan yang tinggi kepada Presiden untuk mengatur regulasi bagi dirinya sendiri. Kekuasaan Presiden dalam membuat regulasi, dilakukan untuk melakukan pengatura baik pada economic regulation, social regulation maupun administrative regulation. RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) disusun dengan pertimbangan untuk mendukung cipta kerja dimana diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan dimana perubahan Undang-Undang sektoral secara parsial dirasakan tidak efektif dan efisien, sehingga diperlukan terobosan hukum melalui pembentukan Undang-Undang dengan menggunakan metode Omnibus Law yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang- Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif.

Kebijakan strategis cipta kerja memuat kebijakan penciptaan atau perluasan lapangan kerja melalui pengaturan yang terkait dengan: (a) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; (b) peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja; (c) kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian; dan (d) peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional. Setidaknya terdapat sepuluh Ruang lingkup yang diatur dalam RUU Cipta Kerja, meliputi:

(1) Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
(2) Ketenagakerjaan;
(3) Kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, UMKM serta perkoperasian;
(4) Kemudahan berusaha;
(5) Dukungan riset dan inovasi;
(6) Pengadaan lahan;
(7) Kawasan ekonomi;
(8) Investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
(9) Pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
(10) Pengenaan sanksi.20

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *