Peredaran Uang Palsu di Masyarakat, Siapakah yang Paling Terdampak?
Oleh: Emi Kusmaeni, S.E., M.Ak
Haijatim.com, Surabaya – Uang selain sebagai alat pembayaran juga memiliki peranan krusial dalam menjaga kelancaran dan pertumbuhan ekonomi domestik. Peredaran jumlah uang di Indonesia dijalankan oleh pemerintah dan Bank Indonesia selaku bank sentral. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Desember 2024 terjadi inflasi sebesar 1,57% yang menyebabkan peningkatan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,50%. Para ekonom menyepakati bahwa angka-angka tersebut masih dalam kondisi aman tanpa menimbulkan efek samping negatif. Pada prakteknya, Bank Indonesia masih mengalami kesulitan dalam menentukan besaran permintaan uang di Indonesia, karena uang kartal yang beredar di masyarakat adalah faktor yang berada di luar kendali Bank Indonesia sendiri. Selain itu permintaan uang juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti, kecepatan uang perpindahan uang dari satu individu ke individu lain, inflasi atau kenaikan harga barang secara terus menerus, Produk Domestik Bruto (PDB), serta tingkat bunga bank. Penetapan jumlah uang yang beredar tentu harus sesuai dengan kebutuhan perekonomian guna menanggulangi adanya tindak pemalsuan uang.
Menyoroti kasus yang terjadi akhir 2024, terungkap sindikat pengedar uang palsu ditemukan di Makassar yang melibatkan 17 tersangka terbukti mencetak uang palsu hingga ratusan triliun rupiah membuat kita kembali mencermati mengapa hal ini dapat terjadi pada masyarakat kita. Peredaran uang palsu tentu bukan terjadi tanpa ada alasan, faktor ekonomi dan lingkungan sosial sangat turut berperan di dalamnya. Pada tahun 2024, Kementrian Keuangan merilis sebanyak 25,22 juta orang miskin di Indonesia. Angka ini lebih tinggi dibandingkan saat sebelum berada di fase pandemi covid19 yaitu 25,14 juta. Kenaikan jumlah ini berbanding lurus dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Tahun 2024 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi kenaikan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,11% atau dengan total keseluruhan 281,6 juta jiwa, dimana pada tahun sebelumnya yaitu 280,73 juta jiwa. Kenaikan angka kemiskinan ini salah satunya karena minimnya kesempatan kerja yang akhirnya dapat memicu beberapa individu melakukan kejahatan untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu, kenaikan harga barang dan jasa juga dapat memicu permintaan uang palsu sebagai alternatif. Selanjutnya, keadaanya lingkungan sosial yang memiliki sifat dan karakter heterogen juga menjadi salah satu pengaruh seseorang membuat dan mengedarkan uang palsu. Kita tentu tak asing dengan kalimat, sifat dan karakter ditentukan dengan siapa kamu berteman. Hal ini menjadi dasar bahwa faktor lingkungan juga sangat penting dalam merubah cara pandang seseorang. Lingkungan sosial seperti ini mendorong keterlibatan sindikat kejahatan membentuk jaringan kejahatan terorganisir untuk memproduksi dan mengedarkan uang palsu. Kegiatan tersebut semakin mudah dilakukan karena didukung dengan teknologi yang semakin canggih serta sulitnya pengawasan terhadap peredaran uang.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa peredaran uang palsu di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, tercatat 117.180 temuan uang palsu, meningkat dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 50.134 lembar. Uang palsu biasanya beredar dalam denominasi besar seperti Rp50.000, Rp100.000 dan Rp500.000. Pada Januari-Oktober 2022, tercatat ada 575.327 lembar uang palsu yang menunjukkan peningkatan sebesar 120,94% dibandingkan tahun sebelumnya. Di Jawa Barat, dari 2019 hingga Juli 2024, ditemukan uang palsu senilai Rp 7,1 miliar. Lalu pertanyaan nya, pihak manakah yang paling dirugikan dengan adanya uang palsu? mereka adalah individu – individu dan pelaku bisnis karena tidak ada yang mengganti kerugian sebagai akibat menerima uang palsu tersebut yang tidak memiliki nilai. Bisnis yang menerima uang palsu dapat menghadapi kebangkrutan jika tidak dapat menukar uang tersebut di bank, sehingga mengurangi keuntungan secara keseluruhan. Pemalsuan uang tidak hanya merugikan masyarakat yang menerima uang palsu, tetapi juga dapat menyebabkan inflasi karena jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat.
Dampak sosial dari peredaran uang palsu juga signifikan. Masyarakat menjadi lebih waspada dalam melakukan transaksi dan mungkin memilih untuk menggunakan aset lain sebagai alternatif, seperti emas atau mata uang asing. Ketidakpastian ini dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi di masa depan karena dapat menurunkan kredibilitas sistem keuangan. Pemalsuan uang memiliki dampak terhadap inflasi dan stabilitas ekonomi. Menurut Bhima Yudhistira, pengamat ekonomi, peredaran uang palsu menambah jumlah uang yang beredar tanpa peningkatan barang dan jasa, menyebabkan inflasi yang tidak terkontrol. Hal ini mengganggu efektivitas kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi. Dari perspektif hukum, pemalsuan uang merusak kepercayaan publik terhadap mata uang, yang dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya inflasi dan kerugian bagi pelaku usaha, pemalsuan uang menjadi ancaman serius bagi kestabilan ekonomi nasional. Jika tidak ditangani, efek negatif ini dapat berkembang sehingga bisa mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat.
Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (BKPU), yang sekarang merupakan Unit Pemberantasan Uang Palsu (UPUP) di bawah Bank Indonesia, berperan penting dalam menangani peredaran uang palsu. UPUP melakukan upaya pencegahan melalui edukasi dan kampanye kesadaran masyarakat tentang bahaya uang palsu. Mereka juga mengembangkan sistem keamanan mata uang yang efektif dan meningkatkan kerjasama dengan lembaga keuangan dan pemerintah. Efektivitas kebijakan moneter memiliki peran penting dalam mengendalikan inflasi akibat peredaran uang palsu melalui beberapa cara. Pertama, Bank Indonesia dapat meningkatkan suku bunga untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengurangi inflasi. Kedua, Bank Indonesia dapat melakukan operasi pasar terbuka untuk mengurangi likuiditas bank dan mengurangi kemampuan bank untuk memberikan kredit yang berlebihan. Ketiga, Bank Indonesia juga dapat meningkatkan pengawasan dan pengendalian peredaran uang untuk mendeteksi dan mencegah peredaran uang palsu. Selain itu, kebijakan moneter juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya uang palsu dan cara mengidentifikasinya.
Dengan demikian, masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi dan segera melaporkan uang palsu kepada pihak berwenang. Koordinasi antara Bank Indonesia, kepolisian dan kejaksaan juga penting untuk menindaklanjuti kasus uang palsu. Dengan kombinasi kebijakan moneter yang efektif dan koordinasi yang baik, inflasi akibat peredaran uang palsu dapat dikendalikan dan stabilitas ekonomi dapat dipertahankan. Secara keseluruhan, peredaran uang palsu adalah ancaman serius yang memerlukan perhatian segera. Jika tidak ditangani dengan baik, dampaknya dapat meluas dan merusak fondasi perekonomian suatu negara, serta mengganggu kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Daftar Pustaka:
– Zulkarnaen, Z., 2020. Pemalsuan Uang dan Stabilitas Kamdagri. Jurnal Ilmu Kepolisian, 14(3), pp.9-9.
– Wiari, M., 2022. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemalsuan Uang. Universitas Sriwijaya
– Doly, D., 2013. Tindak Pidana Pengendaran Uang Palsu di Indonesia. Info Singkat. 9(5). P3D
– Ferdiansyah, F., 2024. Pemalsuan Uang di Kota dalam Tinjauan Kriminologi. Jurnal Kajian Ilmu Sosial, Politik dan Hukum 3(1), pp.220-231.
– Syihabuddin, A., Huda, B. and Asiyah, B.N., 2022. Politik Uang:(Reunderstanding Inflasi dan Kurs dalam Ekonomi Islam). Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, 25(1), pp.98-111.
Emi Kusmaeni, S.E., M.Ak. adalah
– Dosen tetap STIESIA Surabaya pada prodi Akuntansi sejak tahun 2010.
– Selain mengajar beliau juga aktif dalam kegiatan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
BACA JUGA