Haijatim.com – Isu lingkungan hidup di Asia Tenggara semakin mendapat perhatian internasional dalam beberapa dekade terakhir, terutama berkaitan dengan polusi asap lintas batas (transboundary haze pollution). Polusi ini bersumber dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, yang asapnya menyebar ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei, bahkan hingga Thailand dan Filipina. Fenomena ini telah berulang kali terjadi, menimbulkan krisis kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik di kawasan. Seperti dicatat oleh Yandri et al. (2023), kebakaran hutan Indonesia bukan hanya bencana domestik, tetapi juga menjadi persoalan regional yang menuntut kolaborasi lintas batas.
Dampak kabut asap sangat luas. Menurut data WHO, paparan partikel PM2.5 dari asap kebakaran menyebabkan lonjakan penyakit pernapasan seperti asma dan ISPA, terutama pada anak-anak dan lansia. Selain itu, polusi asap mengganggu sektor ekonomi, termasuk pariwisata, transportasi, hingga pendidikan karena sekolah-sekolah harus ditutup pada puncak krisis asap. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas diplomasi lingkungan di Asia Tenggara dan bagaimana negara-negara anggota ASEAN, terutama Indonesia, dapat bersinergi dalam mengatasi ancaman bersama ini (Sustainability UMY, 2023).
Latar Belakang dan Sejarah Polusi Asap Lintas Batas
Polusi asap lintas batas di Asia Tenggara telah menjadi perhatian sejak akhir 1980-an, tetapi mencapai puncaknya pada krisis kebakaran hutan 1997-1998. Kebakaran itu menghanguskan lebih dari 11 juta hektar lahan dan menjadi salah satu bencana lingkungan terbesar pada abad ke-20 (Suryani, 2012). Asap tebal menyelimuti sebagian besar wilayah Asia Tenggara, menurunkan jarak pandang, membahayakan penerbangan, serta menyebabkan ribuan warga menderita gangguan pernapasan. Bahkan, kerugian ekonomi akibat krisis ini diperkirakan mencapai miliaran dolar AS.
Sebagai respons, ASEAN membentuk ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution (ACPTP) pada 1995, tetapi karena sifatnya non-binding, rencana ini gagal menekan angka kebakaran hutan. Desakan negara-negara tetangga akhirnya mendorong lahirnya ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada 2002. Perjanjian ini menjadi instrumen hukum regional pertama yang mengikat secara hukum (legally binding) di bidang lingkungan (ASEAN, 2002). Ironisnya, Indonesia sebagai sumber utama kabut asap baru meratifikasi AATHP pada 2014, setelah menjadi negara terakhir yang menyatakan persetujuannya (Yandri et al., 2023).
Polusi Asap Lintas Batas sebagai Isu Transnasional
Polusi asap lintas batas adalah bukti nyata bahwa masalah lingkungan tidak mengenal batas negara. Asap dari kebakaran hutan dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer, menyebar ke negara-negara tetangga dan menimbulkan berbagai krisis. Negara seperti Singapura dan Malaysia kerap menjadi pihak terdampak yang menekan Indonesia untuk mengambil langkah nyata dalam pencegahan kebakaran. Kondisi ini menegaskan bahwa polusi asap adalah masalah transnasional yang menuntut kerja sama antarnegara dalam kerangka diplomasi lingkungan (CSIS, 2023).
AATHP hadir sebagai wujud respons kolektif ASEAN terhadap masalah ini. Perjanjian ini memuat kewajiban negara anggota untuk mencegah, memantau, dan menanggulangi kebakaran hutan secara bersama-sama. Namun, implementasinya tidak mudah. Seperti dicatat dalam berbagai studi (Sustainability UMY, 2023; Yandri et al., 2023), kepentingan ekonomi, lemahnya tata kelola, dan kurangnya harmonisasi kebijakan nasional dan lokal menjadi tantangan utama. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan perjanjian regional sangat bergantung pada komitmen nyata dan kolaborasi lintas sektor di tingkat nasional.
Dinamika Diplomasi Indonesia
Diplomasi Birokrasi (Teknis)
Indonesia cukup aktif dalam diplomasi teknis di forum ASEAN. Dalam Keketuaan ASEAN 2023, Indonesia menempatkan isu kabut asap sebagai agenda prioritas dalam ASEAN
Ministerial Meeting on Environment (AMME). Indonesia mendorong optimalisasi peran ASEAN Coordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control (ACC) untuk memperkuat sistem peringatan dini dan respons cepat (Ditjen PPI KLHK, 2023). Indonesia juga bekerja sama dengan Singapura melalui BMKG dan ASMC dalam pemantauan titik api di Sumatera dan Kalimantan.
Langkah teknis ini penting karena menunjukkan kesediaan Indonesia untuk menjadi bagian dari solusi regional. Namun, seperti dicatat Yandri et al. (2023), keberhasilan diplomasi teknis sangat bergantung pada keberlanjutan di tingkat domestik.
Diplomasi Politik (Nasional)
Pada tataran politik, Indonesia menghadapi dilema antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur dinilai berisiko meningkatkan titik panas, terutama karena pembukaan lahan besar-besaran. Sementara itu, operasi TMC (teknologi modifikasi cuaca) sering baru dilakukan setelah kebakaran meluas. Ini menunjukkan pendekatan yang cenderung reaktif, bukan preventif (CSIS, 2023). Diplomasi Indonesia di panggung internasional sering tidak selaras dengan kebijakan domestik, menimbulkan kesan inkonsistensi.
Tantangan Implementasi
Beberapa tantangan utama dalam implementasi AATHP di Indonesia antara lain:
1. Konflik kepentingan ekonomi-lingkungan
Industri kelapa sawit, yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia, sering dikaitkan dengan praktik pembakaran lahan (GAPKI, 2018). Kebijakan pro-investasi sering berbenturan dengan komitmen lingkungan, menjadikan upaya pencegahan kebakaran terabaikan.
2. Lemahnya penegakan hukum
Kasus pembakaran hutan jarang berujung pada hukuman tegas. Korupsi dan lemahnya koordinasi pusat-daerah memperburuk keadaan. Hal ini membuat pelaku merasa tidak takut akan konsekuensi hukum (Yandri et al., 2023).
3. Kurangnya harmonisasi kebijakan
Regulasi nasional sering tidak sinkron dengan kebijakan daerah. Beberapa daerah masih mengizinkan pembakaran lahan dalam skala tertentu dengan alasan kearifan lokal, padahal praktik ini berkontribusi pada kabut asap (Sustainability UMY, 2023). Dampak Polusi Asap terhadap Keamanan Regional
Polusi asap lintas batas menimbulkan ancaman keamanan non-tradisional di Asia Tenggara. WHO mencatat ribuan kasus penyakit pernapasan setiap kali krisis asap terjadi. Sektor transportasi dan pariwisata juga terkena dampak langsung. Data Bank Dunia memperkirakan kerugian ekonomi akibat krisis asap 2015 mencapai USD 16 miliar di Indonesia saja. Negara-negara tetangga menekan Indonesia agar bertindak lebih tegas, memunculkan dinamika diplomatik yang tegang (CSIS, 2023).
Studi Kasus: Krisis Asap 2015 dan 2023
Pada 2015, kebakaran hebat menyebabkan asap pekat melanda Asia Tenggara selama berbulan-bulan. Indonesia, Singapura, dan Malaysia saling melontarkan pernyataan keras. Singapura bahkan mengaktifkan Transboundary Haze Pollution Act (THPA) untuk menuntut perusahaan yang dianggap bertanggung jawab. Pada 2023, situasi serupa terjadi di Kalimantan dan Sumatera, dengan lonjakan titik panas yang mendorong operasi TMC secara darurat (Ditjen PPI KLHK, 2023). Kedua krisis ini menunjukkan pola yang sama: lemahnya upaya pencegahan, respon lambat, dan ketergantungan pada teknologi mitigasi saat krisis sudah terjadi.
Teori dan Analisis Akademik
Teori compliance (Raustiala, 2000) menjelaskan bahwa efektivitas suatu perjanjian internasional ditentukan oleh tingkat kepatuhan para pihak. Dalam konteks AATHP, compliance Indonesia belum optimal karena kebijakan nasional belum sepenuhnya selaras dengan prinsip-prinsip perjanjian. Sementara itu, teori environmental diplomacy (Ali & Vladich, 2016) menekankan pentingnya keselarasan antara kepentingan ekonomi, politik, dan lingkungan dalam diplomasi lintas batas. Diplomasi Indonesia masih menghadapi tantangan untuk mencapai keseimbangan ini.
Rekomendasi untuk Penguatan AATHP dan Diplomasi Indonesia
Untuk memperkuat efektivitas AATHP, perlu ada peningkatan peran aktor nonpemerintah atau Non-Governmental Interests (NGIs). Lembaga-lembaga ini dapat memperkuat pengawasan, meningkatkan akuntabilitas pemerintah, dan membawa suara masyarakat ke dalam proses kebijakan. Keterlibatan NGIs akan menambah legitimasi perjanjian karena mereka sering menjadi pelapor utama atas pelanggaran komitmen negara (Yandri et al., 2023).
Selain itu, perlu ada keseimbangan antara aspek ilmiah dan politik dalam pelaksanaan AATHP. Kebijakan berbasis data ilmiah harus dikombinasikan dengan pertimbangan politik agar bisa diterima dan diimplementasikan dengan baik. Pemerintah Indonesia juga harus mendorong media massa agar lebih aktif dalam mendidik masyarakat dan mengawal isu lingkungan dengan peliputan yang transparan dan berbobot. Dengan begitu, kesadaran publik akan pentingnya penanggulangan kabut asap akan meningkat dan mendorong aksi nyata dari semua pihak.
Penutup
Polusi asap lintas batas merupakan masalah lingkungan yang membutuhkan komitmen dan kerja sama regional yang kuat. Indonesia sebagai sumber utama polusi asap memiliki peran sentral dalam keberhasilan AATHP. Meskipun Indonesia aktif dalam diplomasi internasional, keberhasilan sejati hanya dapat dicapai jika upaya penanganan kabut asap di dalam negeri diperkuat secara nyata. ASEAN dan Indonesia harus terus mengembangkan mekanisme penegakan hukum, transparansi, dan partisipasi masyarakat untuk memastikan lingkungan Asia Tenggara terbebas dari ancaman kabut asap di masa depan.
Referensi
ASEAN. (2002). ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Retrieved from https://asean.org/asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution
CSIS. (2023). Extinguishing the Point of Contention: Examining Transboundary Haze in Southeast Asia. Retrieved from https://www.csis.org/blogs/new-perspectives-asia/extinguishing-point-contention-examin ing-transboundary-haze-southeast
Ditjen PPI KLHK. (2023). Pertemuan Tingkat Menteri Lingkungan Hidup untuk Penanggulangan Kabut Asap Lintas Batas di ASEAN. Retrieved from https://ditjenppi.menlhk.go.id/berita/3996-pertemuan-tingkat-menteri-lingkungan-hidu p-untuk-penanggulangan-kabut-asap-lintas-batas-di-asean
GAPKI. (2018). Perkembangan Mutakhir Industri Minyak Sawit Indonesia. Retrieved from https://gapki.id/news/2018/01/17/perkembangan-mutakhir-industri-minyak-sawit-indon esia
Raustiala, K. (2000). Compliance & effectiveness in international regulatory cooperation. Case Western Reserve Journal of International Law, 32(3), 387-440.
Sustainability UMY. (2023). Permasalahan Haze Pollution. Retrieved from https://sustainability.umy.ac.id/permasalahan-haze-pollution/
Suryani, E. (2012). Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia: Penyebab dan dampaknya. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 3(1), 45-59.
Yandri, A. N. P., Hutapea, R. B. T., Timothy, & Sugiyama, Y. J. (2023). Perjalanan menuju lingkungan bebas asap: Peran Indonesia dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Verity – UPH Journal of International Relations, 14(2), 1–12. Retrieved from https://journal.uph.edu/index.php/verity/article/view/6163
WHO. (2016). Ambient air pollution: A global assessment of exposure and burden of disease. World Health Organization.
BIODATA PENULIS
Nama : Shamfira Putri
Kelas : I-1
Asal Sekolah : Universitas Brawijaya
Tempat/ Tanggal Lahir : Surabaya, 19 Juli 2005
Alamat Tempat Tinggal : Jl. Pajajaran Utara II, 66, Sumber,
Banjarsari, Surakarta
Email : samfiraps@gmail.com