Coretax: Update Modern Sistem Perpajakan

Oleh: Emi Kusmaeni, S.E., M.Ak.

Coretax Sistem Perpajakan

Haijatim.com, Surabaya – Pajak merupakan salah satu unsur penting dalam struktur APBN di Indonesia. Untuk mendukung pengumpulan pajak secara optimal dibutuhkan sistem administrasi yang modern, fleksibel, dan efektif. Pada tanggal 1 Januari 2025, Kementrian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah resmi merilis sistem atau aplikasi perpajakan terbaru yang disebut dengan coretax. Core tax administration system (CSAT) atau yang selanjutnya disebut coretax merupakan sistem administrasi perpajakan terbaru yang dirancang khusus sebagai bentuk dukungan transformasi ekonomi dan mendorong kualitas pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pajak yang merupakan sumber pendapatan terbesar negara menjadi instrumen yang tepat untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang dimaksud. Berdasarkan data Kementrian Keuangan (Kemenkeu), DJP berhasil melampaui penerimaan pajak dari target pemerintah selama empat tahun berturut-turut. Penerimaan pajak akhir tahun 2021, 2022, 2023 yaitu sebesar Rp 1.278,63 triliun, Rp 1.716,77 triliun, dan Rp 1.869,23 triliun. Sedangkan penerimaan pajak sampai dengan 31 Oktober 2024 sebesar Rp1.517,53 T atau 76,3% dari target. Angka ini masih terus mengalami kenaikan hingga Desember 2024. Selanjutnya, tulisan ini akan lebih memfokuskan pada pengulasan tentang apa itu coretax atau CTAS.

Apa itu Coretax atau CTAS?
Coretax adalah langkah inovatif sistem teknologi informasi perpajakan yang dapat menyederhanakan administrasi dan mengintegrasikan data digital wajib pajak. Coretax dirancang untuk memudahkan akses layanan perpajakan, dalam hal ini yaitu DJP (Direktorat Jenderal Pajak) sebagai pihak otorisasi maupun bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sistem ini disusun sebagai bentuk modernisasi melalui penerapan teknologi yang lebih canggih sehingga tidak ada lagi pencatatan administrasi pajak yang diperiksa secara manual yang akan mengurangi sedikit tingkat intervensi dari manusia saat proses input data dikarenakan data perpajakan telah tersimpan secara digital. Pengimplementasian sistem ini daiatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 yang ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Coretax sendiri merupakan salah satu bagian dari lima pilar utama reformasi perpajakan yaitu di bidang teknologi informasi dan basis data.

Lantas mengapa beralih ke Coretax?
Pada laman resmi DJP (Direktorat Jenderal Pajak) menyatakan beberapa kemudahan dalam implementasi coretax dibandingkan dengan sistem administrasi perpajakan yang digunakan sebelumnya antara lain, (1) Registrasi WP: sistem coretax melalui saluran layanan borderless dan omni channel dan single source of truth. Sistem lama DJP melalui aplikasi DJP dengan validasi data yang terbatas. (2) Data informasi: sistem coretax disediakan nya Taxpayer Account Management (TAM) yang dapat diakses melalui Taxpayer Portal (TPPortal). Sistem lama DJP melalui website DJP online dengan data informasi yang masih terbatas. (3) Penyetoran pajak: sistem coretax jatuh tempo diseragamkan menjadi tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan disediakan fitur deposit pajak dengan satu kode billing untuk membayar lebih dari satu jenis setoran pajak atau multi akun. Sistem lama DJP jatuh tempo berbeda untuk setiap jenis pajak dengan mencari sendiri jenis pajak terutang dengan satu kode billing untuk membayar satu jenis setoran pajak.

Dengan diberlakukannya PMK No. 81 Tahun 2024, terdapat 42 peraturan perpajakan lama resmi dicabut dengan tujuan untuk menyederhanakan dan menata ulang regulasi perpajakan supaya lebih relevan terhadap implementasi coretax. Melalui Langkah ini diharapkan adanya peningkatan transparansi, efisiensi, dan akurasi dalam administrasi perpajakan, sehingga coretax system dapat membantu mengurangi praktik tax evasion (penghindaran pajak). Apabila dengan adanya coretax wajib pajak berasumsi bahwa membayar pajak itu mudah, sehingga tidak akan ada lagi alasan untuk membenarkan tindakan penghindaran pajak. Di Indonesia, tax evasion menjadi tantangan serius bagi masa depan stabilitas perekonomian karena merupakan tindakan manipulatif untuk mengurangi kewajiban pajak secara legal di mata hukum yang berujung akan terhambatnya pembangunan infrastruktur serta penurunan kualitas layanan publik. Praktek tax evasion sendiri banyak terjadi pada perusahaan di Indonesia seperti kasus PT X melakukan manipulasi pajak yang harus dibayarkan melalui pemalsuan laporan keuangan selama tiga tahun berturut-turut. Tindakan tersebut dibuktikan karena PT X hanya membayarkan pajak sebesar 1,6 miliar, di mana seharusnya wajib membayarkan sebesar Rp 16 miliar. Pada kasus lain, PT Y sebuah perusahaan multinasional yang melakukan aksi serupa menghindari kewajiban pajaknya dengan melakukan tax planning yang memanfaatkan physical presence di mana subjek pajak menjadi bias dalam transaksi penjualan online lintas negara tanpa adanya kehadiran toko maupun perusahaan fisik di negara tujuan. PT Y akan memilih berada pada negara yang memberikan tarif pajak rendah dan banyak fasilitas pajak yang menguntungkan. Dengan penerapan tax planning ini perusahaan hanya membayarkan pajak sebesar 2,2% saja dibandingkan tarif pajak yang seharusnya dikenakan yaitu sebesar 35%. Penyebab utama dari penghindaran pajak umumnya karena tarif pajak yang tinggi, hukuman yang tidak memberikan efek jera dan ketidakadilan yang nyata. Ketika situasi ini terjadi penghindaran pajak akan cenderung meningkat.

Implementasi Coretax di Indonesia
Coretax pada dasarnya merupakan pembaruan sistem yang dibuat oleh DJP yang bertujuan meningkatkan infrastruktur perpajakan melalui peningkatan kepatuhan wajib pajak dan mengidentifikasi wajib pajak yang tidak patuh. DJP menyebutkan bahwa sistem ini dirancang tentu memiliki manfaat antara lain, (1) menciptakan institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel, (2) membantu meningkatkan kepatuhan wajib pajak terhadap kewajibannya, (3) meningkatkan penerimaan negara atau Tax Ratio kurang lebih 1,5 Persen, (4) meningkatkan kualitas data, segmentasi dan profiling pada wajib pajak, serta (5) menganalisa kepatuhan wajib pajak dalam pengelolaan hutang dan tagihan pajaknya. Terlepas banyak manfaat yang didapatkan, coretax dalam implementasinya tak luput dari kendala yang ada, (1) berupa peretasan, pencurian data, atau serangan cyber yang menyebabkan kerusakan pada sistem mengingat coretax merupakan sistem administrasi digital, (2) untuk wajib pajak yang bertempat di daerah terpencil belum bisa menggunakan sistem ini karena keterbatasan internet, (3) diperlukan peningkatan kapasitas SDM untuk memastikan efektifitas jangka panjang dalam penerapannya dikarenakan belum terbiasanya sebagian pengguna teknologi terhadap transformasi digital. Namun, dengan upaya dan kerjasama yang baik antara berbagai pihak, setiap tantangan yang muncul dapat diatasi dengan membawa perubahan besar dalam sistem perpajakan Indonesia yang transparan, efektif dan akuntabel.

Daftar Pustaka
– Dewi, N. K. T. J., & Merkusiwati, N. K. L. A. (2017). Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika atas penggelapan pajak (tax evasion). E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 18(3), 2534–2564.
– Halim, A. (2014). Perpajakan Konsep, Aplikasi, Contoh Dan Studi Kasus.Jakarta: Salemba Empat.
– Juwita, S., & Qadri, R. A. (2024). Unveiling the “Five Catalysts” for the Success of the Core Tax Project. Educoretax, 4(2), 184–200.
– Siahaan, M. P. (2010). Hukum pajak elementer : konsep dasar perpajakan Indonesia / Marihot Pahala Siahaan. Graha Ilmu.

Coretax Sistem Perpajakan
Penulis:
Emi Kusmaeni, S.E., M.Ak. adalah
– Dosen tetap STIESIA Surabaya pada prodi Akuntansi sejak tahun 2010.
– Selain mengajar beliau juga aktif dalam kegiatan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.

Tinggalkan Komentar